Klan Kodon selalu melindungi desa ini.
Kuil Kodon yang seharusnya sebagai tempat untuk menyembah dewa, kini telah membusuk.
Sebuah benda yang sempat mengagungkan kuil ini pada zaman dulu hanyalah sebuah pohon besar yang tumbuh di area kuil.
Saat aku menyusuri gerbang yang telah longgar dimakan rayap, terdapat sebuah altar kecil dengan setengah atap.
Mitarashi (Tempat para penyembah untuk membersihkan mulut dan tangan yang berada di pintu masuk kuil) yang dipenuhi dengan lumpur dan daun yang berjatuhan.
Saisenbako (Kotak untuk menerima persembahan uang yang terletak di depan kuil) yang terbakar dan hangus.
Coretan di dinding.
Saat aku mengitari bagian belakang altar, ada sebuah tangga berbatu, dan atap rumah terlihat di bawah sana. Meskipun tidak ada cahaya, aku menuruni tangga, lalu berdiri tepat di depan rumah itu.
Bagian depan gerbang yang seharusnya masih kokoh 10 tahun yang lalu, kini menjadi miring, dan tampaknya akan runtuh jika tertiup angin. Huruf yang memudar dari papan penanda itu, tidak salah lagi, huruf itu dibaca <連翹堂> (Rengyoudou).
Jika dilihat dari posisi bulan saat ini, aku menyadari bahwa ini sudah hampir tengah malam. Aku kembali ke kuil itu. Sebelumnya aku tidak menyadari bahwa terdapat sebuah batu monumen yang berdiri di samping altar. Sebuah huruf <祀> (Dibaca "Shi" yang artinya "Sembahyang"), dan dua ekor binatang buas yang sedang bertarung terukir disana. Yang satu adalah serigala, dan yang satunya lagi wajahnya menghilang, tapi dilihat dari bentuk tubuhnya, itu adalah harimau. Keduanya sangat lapuk. Pada bagian punggung serigala itu, terukir huruf <封> (Dibaca "Fuu" yang artinya "Segel"). Sedangkan di bagian punggung harimau itu juga tertulis sesuatu, tapi aku tidak bisa membacanya.
Ini adalah benda yang muncul saat klan Kodon bertarung dengan Serigala Pemangsa (Rouen) itu, lebih tepatnya, meskipun patut dipuji, ini bukanlah batu monumen yang langka.
"Membosankan....."
Aku menendang pintu altar itu, lalu masuk ke dalam.
Bayangan rembulan jatuh pada lantai papan yang rusak. Aku berguling membalikkan tubuhku di lantai. Aku meletakkan kedua tanganku di bawah kepala, lalu menatap bulan sabit yang bersinar di balik langit-langit yang usang. Seekor, dua ekor kunang-kunang itu melayang dengan lembut. Tidak, seharusnya ini bukan kunang-kunang.
Mengapa, sejak tadi aku tidak menyadarinya..... musim gugur telah berlalu.
Namun, serangga-serangga bercahaya hijau yang tersesat masuk ke dalam kuil dari langit-langit yang hancur itu, menghilang lagi ke suatu tempat.
Aku merasakan aura membunuh, lalu melompat bangun. Saat aku melihatnya, ada seekor ular putih kecil yang merayap keluar dari celah dinding.
Perasaanku bergejolak.
Sambil memikirkan hal itu, aku menelentangkan tubuhku lagi.
―Jika kau ingin membunuhku, dendamlah! Bencilah aku! Dan tetaplah bertahan walaupun sulit..... lari dan larilah, tetaplah berpegang teguh pada dirimu.....
Aku menelan kalimat Itachi.
Aku seperti tak menyadari rasa sakit Itachi yang ada dibalik kalimat itu. Rasa sakit di dada ini, seperti dimakan hidup-hidup.
―Ingatlah ini, Uchiha Sasuke, tidak ada pertentangan apa pun pada tujuan kita. Kita sudah berada di tempat di mana keadilan tak akan pernah bisa untuk diraih. Tidak ada seorang pun, untuk kedua kalinya, tidak ada yang bisa membawa kita pada keadilan.....
Namun demikian, tanpa lelah, apa aku bermaksud untuk menelan ucapan Tobi?
Waspadalah, Uchiha Sasuke. Aku berkata pada diriku sendiri. Jangan disesatkan oleh kata-kata. Jangan melewatkan kebenaran yang tersembunyi di balik kalimat itu.
Lagi, aura membunuh yang samar itu kembali menyeretku dari sejenak tidurku.
Kali ini bukan ular.
Rembulan dari celah langit-langit itu, sudah tidak ada harapan lagi.
"!"
Sebagai penggantinya, tiga bayangan yang terbang dari langit melintasi pandanganku. Setelah menghitung jumlah tiga orang di dalam hati, aku mengayunkan kaki, mengibaskan lantai dengan bahuku dan terbang ke udara.
Aku melompat keluar dari celah langit-langit, lalu menyembunyikan diri di atas atap. Udara dingin sebelum fajar tiba membuat sel tidurku bangkit sepenuhnya.
Saat aku memutarkan mata, siluet itu menendang ranting pohon tanpa suara, berbalik di udara, dan jatuh di bagian belakang altar seperti tiga bintang jatuh.
Angin bertiup kencang, dan pohon di area kuil berantakan.
Awannya melaju dengan cepat.
Bintang-bintang yang berada di langit sekitarku memancarkan cahaya dingin. Sebuah kilatan menyala, lalu suara ledakan menghantam langit malam.
DON!
"!"
Berikutnya, satu lagi.
DON!
Dengan cepat aku menendang atap altar, lalu melompat ke asal suara ledakan itu.
Aku melompat menuruni anak tangga.
Sebelum mendarat, aku mendengar suara teriakan. Dengan cepat, kobaran api naik dari Rengyoudou.
Api yang melalap gerbang itu, dengan cepat membakar gedung utama karena diterbangkan oleh angin.
Aku menendang tangga berbatu itu lalu terbang ke udara kedua kalinya.
Dari atas, terlihat dua bayangan yang mengarah ke kanan dan kiri taman Rengyoudou. Mereka mengambil air dengan ember, lalu mencoba memadamkan apinya.
Tapi, api itu bagai mengejek mereka, dan menari di depan wajahnya.
"Apa-apaan ini.....?"
Aku sangat kesal.
Aku merasa memori Itachi telah dikhianati.
Saat kuperhatikan, tanganku telah melepaskan kilatan cahaya. Chiri Chiri Chiri―
Sambil memperhatikan tiga siluet yang melarikan diri ke arah utara melalui sudut mataku, aku mengeluarkan sebuah Jutsu.
"Chidori!"
Aku menghentakkannya di tanah halaman.
DOOOOON!
Tanah yang mengelupas, dan dengan angin yang dahsyat menyebabkan api yang berada di gerbang dan gedung utama lenyap terbawa angin sekaligus. Bukan hanya itu saja.
Dua orang yang memandamkan api itu juga ikut terbawa angin dan terhempas ke dinding.
Kaca jendela gedung utamanya telah hancur berkeping-keping tanpa tersisa satupun.
Lalu bagian gerbangnya hancur ditarik oleh tanah.
Taman itu dipenuhi dengan debu dan asap yang membara. Akulah yang menyebabkan keruntuhan besar saat melepaskan Chidori ini.
Aku merasakan aura membunuh, lalu tubuhku menghadap ke depan dan menghindari serangannya.
"Ternyata kau juga berasal dari klan Sendou, ya!"
"........"
Di dalam kunang-kunang yang bertebaran, seorang anak laki-laki bertelanjang dada memperbaiki posisi Kunainya. Rambutnya runcing, bagaimanapun juga hal itu mengingatkanku pada Naruto yang dulu, dan tatapannya lurus. Ia mengenakan topeng di belakang kepalanya.
"Kau datang untuk mencuri Kotarou, 'kan!"
Sambil mengayunkan Kunai dengan sembrono, ia mengatakannya dengan ketus. Ia mengingatkanku pada Naruto yang dulu, sifat terus terangnya, ketumpulannya, dan kebodohannya. Karena itulah, aku tidak cocok dengannya.
"Sial..... jangan kabur!"
"Bukan aku yang membakarnya", ucapku sambil menghindari ujung Kunai itu. "Aku hanya memadamkan apinya"
"Pembohong!", anak itu terus menyerangku.
"Mana kutahu tentang keberadaan Kotarou!"
Aku menghindari serangan itu, lalu melompat ke dada anak itu, dan menyentil dahinya dengan jariku.
TUK!
"Aduhh!"
"Sudah kubilang bukan aku yang melakukannya, 'kan?"
Anak itu melompat mundur ke belakang sambil mengelus dahinya, dan ia masih memiliki energi yang cukup untuk memelototiku. Hal ini juga mirip seperti pecundang itu.
"Hentikan, Kina", sebuah suara datang dari samping. "Orang itu sama sekali tak ada hubungannya dengan Sendou Jiryuu"
Seorang pria dengan rambut panjang yang terikat di belakang, ia berdiri di sana. Pria itu mengenakan pakaian berwarna ungu muda yang terlihat nyaman.
"Mengapa kau bisa tahu!?", bentak anak laki-laki yang bernama Kina itu.
"Aku akan menangkapnya!"
"Apa kau tidak melihat simbol di punggungnya?"
"Simbol.....?"
"Itu adalah simbol klan Uchiha"
"Benarkah?", anak itu membulatkan matanya.
"Kalau begitu, berarti kau ini adiknya Uchiha Itachi, ya?"
"!"
"Maafkan ketidaksopanan adikku", ucap pria berambut panjang itu padaku.
"Namaku adalah Kodon Reishi, aku adalah kepala dari klan Kodon"
Aku menatap dengan seksama pada pria yang bernama Reishi itu.
"Apa kau..... mengenal Itachi?"
"Tentu saja", angguknya.
"Tapi sayangnya, selama beberapa tahun terakhir ini, hanya Itachilah satu-satunya pelangganku"
.
.
.
See u on the next chapter :)
Comments
Post a Comment