Di jalan utama desa, banyak sekali toko obat yang berjajar.
<地龍屋>
<神麴堂>
<朱砂屋>
<大黄館> dan <薄荷軒>, saat aku melihat nama-nama toko itu, aku menyadari bahwa nama toko obat itu adalah nama obat herbal. Aku juga tahu bahwa Daiou「大黄」dan Hakka「薄荷」adalah nama obat. Aku terus berjalan seolah mengikuti matahari terbenam, sesuai ucapan pejabat itu. Saat petang tiba, aku menghampiri sebuah sungai besar. Kunang-kunang berkedip di tepi sungai yang berumput tebal. Cahaya lampion menggeliat di dalam kunang-kunang yang sedang terbang. Ada sesuatu yang tertulis di lampion itu, aku tak dapat membaca tulisan "Kepolisan" sampai pada jarak yang cukup dekat. Tanpa sadar, aku mempercepat langkah ini. Tidak peduli dalam bentuk apa pun, aku tak ingin terlibat dengan kepolisian.
Dari tepi sungai, suara para kepolisian itu terbawa angin.
"Oi, disini juga ada!"
Lalu, lampion itu berkumpul menuju ke satu tempat, dan para pelancong menggema di atas jembatan seperti lonceng.
"Ini adalah yang ke-6 kalinya", ucap para pelancong itu satu sama lain.
"Kuwabara, kuwabara" (Kalimat ini diucapkan oleh orang Jepang agar terhindar dari bahaya atau sesuatu yang tidak diinginkan)
"Temanku yang berada di kepolisian mengatakan bahwa orang-orang yang terbunuh, akan berakhir seperti Miira (Mayat kering)"
"Apa yang dilakukan oleh pasukan penjaga"
"Sebenarnya, berapa orang yang terbunuh kali ini?"
"Aku tidak bisa melihatnya dari sini karena terlalu gelap"
Aku memandangi tepi sungai dari kerumunan orang. Bulan sabit menggantung di langit timur. Dengan cahaya seterang ini tidak memungkinkan bagi orang biasa, tapi mataku mampu melihatnya. Terdapat dua orang mayat yang ditutupi oleh permadani di sekitar sungai berbatu ini. Polisi itu belum menyadari, di akar pohon pinus yang terletak di bawah sungai, masih ada satu mayat lagi.
Kunang-kunang mengerumuni mayat itu dan memancarkan sinarnya. Aku hanya dapat melihat bagian kakinya saja, dan mayat yang dikelilingi lampion itu, memang benar terlihat mengering seperti dahan mati. Chakranya seperti terhisap..... saat aku mengintip dari jembatan, seorang pria berpakaian biasa datang mendekat dari dalam kerumunan, dan berbisik padaku.
"Kau, orang asing, 'kan?", ucap pria dengan bekas luka dari mata kanan hingga pipinya.
"Jika kau menginginkan Saigenzai, aku punya yang bagus"
"........", aku memperhatikannya dengan seksama, lalu berkata, "Bukankan Saigenzai adalah obat terlarang?"
"Tenang saja", ucap pria itu sambil tertawa.
"Selama kau tidak mempublikasikannya, pemerintah pun tidak akan benar-benar menangkapmu, dan 30% penduduk desa ini mengonsumsinya"
"Seperti apa yang kau punya?"
"Apa pun ada"
"Yang mana yang paling mengerikan?"
"Kalau yang itu, Kotarou dari Rengyoudou"
"Rengyoudou, ya....."
"Apa-apaan itu, jadi kau datang kemari bukan untuk membeli Saigenzai, ya?", pria itu tersenyum bahagia.
"Rupanya kau menentang Rengyoudou, Tuan, kau ini orang ahli, ya"
Setelah berpikir sejenak, aku memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan.
"Berikan aku obat nomor 7"
"Nomor 7? Apa itu?"
"Tidak, lupakan saja..... berikan aku satu"
Penjual dengan luka diwajahnya itu, menggesekkan ibu jari dan jari telunjuknya secara bersamaan.
"1000 Ryo"
Aku membayar sesuai yang ia katakan, lalu menerima sebuah plastik kecil kertas minyak.
"Terima kasih"
Pria itu mengangkat bahunya, lalu bergabung ke dalam kerumunan. Di balik punggungnya, terdapat sebuah huruf besar bertuliskan <仙> (Pertapa). Di dalam plastik kecil ini, hanya ada 3 buah obat pil.
"Sebenarnya, siapa orang yang melakukan hal sekeji ini..... padahal hal seperti ini, sebelumya tidak pernah terjadi"
Para pelancong itu seperti biasanya, mereka menggosipi kasus pembunuhan dengan senangnya.
"Pasti, tindakan ini dilakukan oleh orang asing. Tidak salah lagi"
"Kalau bukan orang asing, pasti perkumpulan para pedagang Saigenzai"
Mereka semua bodoh ya......?
Aku menyimpan plastik ini di dadaku, lalu melirik para pelancong yang berasumsi tingkat tinggi pada kemalangan orang lain, menyeberangi jembatan, dan berjalan membelakangi bulan sabit.
Pelakunya sudah pasti seorang Shinobi.
Nahkoda kapal itu memberitahuku bahwa pada awalnya, desa ini adalah desa tersembunyi. Dengan kata lain, masih ada Shinobi yang tinggal di desa ini. Lalu pada suatu hari, tiba-tiba, desa ini mendeklarasikan netralitasnya.
Kemungkinan besar, meskipun mereka tidak menerima pekerjaan dari beberapa negara besar, mereka dapat hidup tercukupi hanya dengan menjual obat-obatan. Orang-orang di desa ini sudah tidak lagi menjalankan misi berbahaya untuk kedua kalinya, dan sudah tidak lagi diincar oleh musuh.
Tapi, bagaimana dengan para Shinobinya?
Orang yang berhasil masuk dalam pasukan penjaga, itu masih jauh lebih baik. Tapi, bagaimana dengan Shinobi yang bukan anggota penjaga?
Tak ada yang lebih merepotkan daripada Shinobi yang kehilangan pekerjaannya. Mereka tidak bisa menunjukkan kekuatannya dan tidak memiliki cara untuk mengumpulkan uang.
Desa ini lebih mementingkan bisnis, dan siapa yang memiliki uang maka dialah yang terhebat. Para Shinobi itu dipojokkan dalam masyarakat, sambil meratapi kedua tangan kotornya demi desa, dan diperlakukan seperti binatang oleh penduduk desa. Karena itulah mereka menjual Saigenzai.
Siapa yang dapat mengatakan bahwa Konoha tak akan berakhir seperti ini?
Saat aku berpikir seperti itu, tiba-tiba aku merasakan kejanggalan.
Suatu hari nanti, alangkah baiknya jika Konoha juga seperti ini. Misalnya, seseorang membuat penemuan besar, atau menggali sumber daya alam yang diinginkan oleh siapa pun.....
Dengan begitu, Shinobi yang mengambil keuntungan dari masyarakat akan segera mengalami kehancuran. Seorang Hokage sebagai pelindung desa akan berubah menjadi uang.
Orang seperti Naruto, akan mengakhiri hidupnya tanpa menjadi lawan dari siapa pun. Naruto tak akan dijadikan lawan oleh siapa pun..... ini, menarik.
Aku tertawa. Seorang Shinobi, ternyata tidak benar-benar lebih berharga dari hal itu. Aku tertawa dan mengeluarkan suaraku, beruntung di sekitar sini tidak ada siapa pun. Entah karena terkejut dengan tawaku, seekor anjing menggonggong di suatu tempat.
Selama dunia Shinobi ini masih berlanjut, Itachi yang kedua, ketiga, akan tetap muncul. Didasari oleh tekad yang kuat untuk melindungi desa, sampai kapan pun, akan ada seseorang yang dikorbankan.
Seberapa berharganya desa Konoha?
Lalu pada akhirnya, di mana letak kesalahan cara Konoha dan cara Tobi yang sebenarnya?
Kemana aku akan pergi?
Aku berjalan menuju kuil Kodon.
Saat perjalanan, aku berpapasan dengan orang tua bersama anaknya. Seorang gadis kecil yang melepaskan tangan dari ibunya berkata dan menunjuk ke arahku.
"Hei, mama, lihat kakak itu, dia terlihat menderita..... apakah dia sakit?"
Saat menatap wajahku sejenak, ibu itu menarik lengan anakknya, lalu bergegas dengan cepat seakan ketakutan.
Menderita.....?
Aku?
Padahal saat membayangkan akan menghancurkan Konoha, aku tak pernah merasa sebahagia ini. Aku menghentikan langkah, sambil ditiup angin malam di musim gugur, aku melihat bayangan diriku yang memanjang pada bongkahan tanah itu. Saat kulihat dengan seksama, aku merasa diriku adalah bayangan itu, dan bayangan itu menjadi diriku. Gadis kecil tadi, mungkin adalah seorang iblis. Gadis itu bermaksud untuk memberitahuku. Bahwa rasa benciku terhadap Konoha, masih belum cukup.
.
.
.
Bersambung
Comments
Post a Comment