“Dari sini, lanjutkan sejenak dengan gunung di arah utara sebagai penandanya. Kita akan bertemu setelah melintasi tiga sungai”
“Pastikan agar kau tak termakan karena daerah itu adalah area binatang buas―”
Di puncak gunung tempat kami tiba, Zetsu menunjukkannya jalan yang baru.
“Iya”, balas Konan, sejujurnya ia tidak nyaman untuk bergerak sesuai dengan instruksi mereka, namun ia pergi ke arah tempat tujuan itu.
Seperti yang dikatakan Zetsu putih, di sana tak ada jalan dan merupakan area binatang buas. Ia memperhatikan sekitar sambil melompati dahan pohon.
Dengan segera, ia menyeberangi sungai yang pertama dan berlari tanpa istirahat, namun sesekali, ia mencium aroma bunga dari dalam jubahnya.
Itu karena ia tidak bisa membuang bunga yang ditemukannya di kaki gunung.
Saat mencium aroma bunga itu, memori lainnya hidup kembali.
Kisah setelah ia menerima bunga itu dari Yahiko.
“Bunganya.....”
Beberapa hari setelah ia membawa pulang bunga itu, bunganya layu secara perlahan. Berbeda dengan bunga kertas, masa hidup bunga yang dipetik jauh lebih singkat. Mungkin, ini cara untuk mengembalikannya ke alam apa adanya, namun Konan tak ingin kehilangan bunga ini.
“..........”
Konan mencoba untuk membuat bunga kering dengan membungkusnya di kertas dan meletakkan beban di atasnya saat Yahiko dan Nagato sedang tidak ada.
“.....Berhasil”
Empat hari berlalu setelah ia meletakkan beban itu. Saat ia sedang sendirian, ia memeriksa bunga itu diam-diam. Meski bentuknya terlihat sedikit buruk karena ia baru pertama kali membuatnya, namun ia cukup puas. Dengan begini, ia dapat memilikinya dalam waktu yang lama.
“.....Indah sekali ya”
“!!”
Dari belakang Konan, Nagato mengatakannya seolah mengintip bunga kering itu.
“Na, Nagato”
Sejak kapan ia kembali? Nagato tersenyum saat melihat Konan yang jarang gelagapan.
“Selama beberapa terakhir ini, kau terlihat seperti sedang mencemaskan sesuatu, rupanya benda itu ya”
Setelah membalikkan papan katak yang terdapat di dinding tempat persembunyiannya, Nagato duduk di samping Konan. Konan meletakkan kembali bunga kering itu pada kertas yang dibungkusnya, lalu meletakkannya di sudut meja seolah menyembunyikannya.
“Apa kau terluka?”
“Aku baik-baik saja. Yahiko juga akan segera kembali”
“Iya. Kalau begitu, kita harus menyiapkan makanan”
“Iya”
Saat bertemu dengannya, bahkan hingga saat ini, Nagato sangat kurus dan lemah sehingga ia hampir mati.
Meski ia memiliki mata yang istimewa bernama Rinnegan dan gemetar akan kekuatan besar itu, namun saat ini ia menjadi seorang Shinobi yang luar biasa baik fisik maupun mentalnya.
“.....Entah mengapa tiba-tiba, aku jadi ingat dengan guru Jiraiya”
Sambil menyiapkan makanan, Nagato menatap papan katak itu.
Jiraiya, ia adalah seorang Shinobi Konohagakure yang mengajarkan Ninjutsu pada mereka.
Bukan hanya Ninjutsu, ia juga mengajari mereka banyak hal penting dalam hidup.
“Saat guru pergi, kau menghibur Yahiko yang sedang menangis, dan mengatakan bahwa suatu hari nanti kita bisa bertemu dengannya”
“Iya”
“Aku pernah berjanji pada guru. Karena itulah..... setelah aku meraihnya, aku ingin bertemu dengannya lagi”
Meski berkembang pesat, namun ada hal yang tak berubah.
Anak lelaki yang baik hati sejak pertama kali bertemu, hingga kini, ia masih memiliki kebaikan itu di dalam hatinya.
Meraih dunia tanpa perselisihan. Itu adalah harapannya.
Demikian juga dengan Yahiko. Demi menyelamatkan Amegakure, ia bertarung dan berjuang keras.
Dan impian mereka berdua jugalah impian Konan.
“Kau benar. Aku juga..... ingin meraihnya bersama”
Konan mengatakannya sambil mengangguk seolah menegaskan impian mereka. Kemudian, entah mengapa Nagato tertawa kecil padanya.
“Nagato?”
“.....Um, bagaimana ya..... baru-baru ini, aku menyadari sesuatu”
“Menyadari sesuatu.....?”
Ekspresi Nagato sangat tenang.
“Kami yang hingga saat ini masih bertarung dan mempertaruhkan nyawa di negara yang penuh dengan kerugian ini, aku tak sempat memikirkan hal itu..... tidak, aku tidak bisa menyadarinya”
“?”
“Mungkin kau bisa meraih sesuatu yang berbeda dari kami”
Konan membeku sejenak dan menatap Nagato.
“Aku? Meraih apa.....?”
Pandangan Nagato beralih menuju bunga kering itu.
“Hei, Konan”
Nagato tersenyum jahil.
“Suatu hari nanti, bunga itu akan berbuah”
Saat itu, ia tak mengerti apa arti kalimat itu.
“Jika awan air mata darah itu menghilang, sinar fajar menerangi segalanya dengan merata, dan bunga-bunga di daratan Amegakure itu bermekaran, mungkin akan tiba saat di mana sesuatu yang berharga dan ingin melindungi orang yang berharga itu semakin meningkat bagiku”
“.....Tck”
Tanpa sadar, Konan berhenti. Dadanya terasa sakit.
Kenangan hangat itu menyakitkannya. Saat ia bersandar di batang pohon dan menekan dahinya, keringatnya mulai mengalir.
Di dalam lingkungan yang sulit, Nagato merangkak sambil menikmati keputusasaan dan menyimpan harapan.
Saat ini― ia berada di dalam menara Amegakure, menyendiri di sebuah ruangan gelap, dan menderita seorang diri.
Pipinya kurus kering, tulang rusuknya timbul, dan perdamaian yang ia tuju sambil mengubah hidupnya menjadi Chakra benar-benar sangat berbeda dengan perdamaian yang ingin ditujunya saat itu.
“Fuh―.....”
Konan menghembuskan napasnya dalam-dalam dan menyeka dahinya. Saat ia melihat ke bawah dengan tiba-tiba, ia mendapati bunga yang tampak layu di sekitar akar pohon.
“Itu.....”
Saat ia melompat turun dari pohon, berlutut, dan melihatnya dari dekat, bunga yang dilihatnya di kaki gunung itu layu di tempat ini.
Meski bertanya-tanya mengapa hal itu terjadi, namun Konan segera menyadarinya.
“Ini.....”
Jika dilihat dengan seksama, buahnya membengkak di ujung batang. Saat ia mengambil dan memecahkannya, di sana penuh dengan bji.
Mungkin bunga-bunga di sini mekar lebih awal daripada di kaki gunung, lalu berbuah, dan terhubung ke generasi berikutnya.
Pada saat itu, angin bertiup dari dalam hutan, pohon-pohon itu bengkok, dan di saat yang sama, biji-biji di telapak tangan Konan jatuh ke tanah.
“..........”
Di tahun mendatang, benih ini akan bertunas, daunnya menyebar, bunganya akan mekar, dan berbuah kembali.
Malam itu, terdapat benih bunga di tangan Konan yang beristirahat di ranting pohon sebagai tempat tidurnya.
―Suatu hari nanti, bunga itu akan berbuah.
Kata-kata itu terngiang kembali.
Konan yang sekarang telah mengerti pada apa yang diimpikan Nagato saat itu.
Konan menggenggam benih itu dengan erat.
“Tapi, saat ini sudah tidak bisa.....”
Saat ini, dirinya adalah bunga yang tak lagi berbuah.
.
to be continued
Comments
Post a Comment