Rumah Kanyuu yang terletak di belakang tungku cukup luas untuk ditinggali seorang diri, dan ia memberikan masing-masing kamar untuk Deidara dan Sasori.
Jika dipikir-pikir, beberapa hari terakhir setelah menghancurkan kota karena misi dari “Akatsuki”, mereka terus bergerak di udara tanpa istirahat yang cukup. Meski di kamar ini hanya terdapat meja kecil dan kasur yang sederhana, namun cukup untuk melepas lelah. Sementara menanggalkan jubahnya dan berbaring di tempat tidur dengan pakaian ringan, Deidara menyatukan kedua tangannya dan menggosoknya ringan. Ia juga tak mampu membuat konsep ledakan yang baru.
Mungkin Sasori juga sedang memperbaiki “Kugutsu” miliknya. Ia juga memerlukan perawatan untuk tubuhnya sendiri.
“Ng? Aroma yang aneh..... un?”
Deidara bangun setelah menyadari terdapat aroma yang seolah menusuk hidungnya. Saat melihat ke luar, di sana terlihat asap yang mengepul dari tungku itu. Sepertinya, aroma itu berasal dari sana. Kannyuu berada di depan tungku itu, dan ia sedang menyesuaikan apinya. Setelah membuka jendela, Deidara melompat turun ke tanah dari sana.
“Kau masih melakukannya ya..... un”
“.....Tck! Dari mana kau keluar?”
Kannyuu sangat terkejut melihat Deidara yang tiba-tiba muncul di belakangnya, namun ia segera mengembalikan pandangannya pada tungku itu.
“Hanasaki dikatakan memiliki penyesuaian api yang paling sulit..... saat ini adalah sebelum penyelesaiannya. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku”
Di dalam tungku itulah api merah menyala. Di sinilah tembikar itu sedang dibakar. Hanya saja, kekuatan apinya tampak lemah bagi Deidara yang sudah terbiasa dengan ledakan.
“Bukankah lebih baik bila kau membakarnya sekaligus, un”
Itu karena seni adalah ledakan! Ucap Deidara dengan antusias, tapi Kannyuu berkata “Jika melakukan itu, tembikarnya akan hancur”.
“Ngomong-ngomong, apa temanmu tidak perlu makan apa pun?”
Kannyuu telah membuat masakan sederhana untuk mereka, namun tanpa memakannya, Sasori segera masuk ke kamarnya.
“Iya, tuan tidak membutuhkannya. Itu karena seni milik tuan tidak membutuhkan makanan..... un”
“Sepertinya, keluarganya adalah pengguna Kugutsu dari Sunagakure. Namanya..... Sasori ya? Apa ia juga pengguna Kugutsu?”
“Banyak bicaranya memang tidak keren, tapi yah, begitulah. Dia adalah Shinobi pengejar seni bersamaku..... un”
“Sepertinya, kau dan Sasori sangat berbeda dalam bidang seni”
“Begitulah. Lagi pula, apa yang kami cari juga berbeda. Aku sering bertabrakan dengannya. Aku tidak bisa memahami seni milik tuan, un”
Kannyuu bergumam kecil, lalu memasukkan kayu bakar.
“Kalau begitu, mengapa kau bersamanya?”
Pertanyaan yang sederhana.
“Tapi, sebagai seorang seniman, tuan Sasori adalah orang yang bisa kuhormati..... un”, balas Deidara tanpa keraguan pada pertanyaan itu. Ia bersamanya bukan karena menyukainya, namun dengan ini setidaknya ia mengakui keunggulannya.
“Demi seninya sendiri, tuan Sasori terus membunuh dirinya sebagai manusia. Ya, tapi sepertinya tak ada lagi bagian tubuh yang bisa dihabisinya lebih dari ini..... un”
Sasori mengubah tubuhnya sendiri menjadi Kugutsu untuk mencari keindahan abadi. Sudah tak ada lagi bagian tubuh manusianya kecuali inti dadanya.
“Begitu ya.....”
Penjelasan Deidara saja mungkin tidak cukup untuk memahami segala situasinya. Tetap saja, sepertinya Kannyuu merasakan sesuatu.
“Kalian memiliki persiapan ya.....”
Kannyuu menghembuskan satu nafas.
“Sudah 10 tahun berlalu sejak tuan Mashou menghilang..... sebelum menyadarinya, mungkin aku sudah diwarnai oleh desa ini yang meninggalkan seni”
“Seni itu adalah sesuatu yang berubah-ubah. Meski kau melakukan hal yang sama setiap hari, itu tidak ada artinya, un”
Deidara bukan bermaksud untuk mengajarinya. Ia hanya bicara pada dirinya sendiri.
Tetap saja, Kannyuu kehilangan kata-kata seolah kalimat itu telah menusuk benaknya.
“Huaa..... rasanya jadi mengantuk. Aku akan kembali ke kamar, un”
Deidara yang bercerita sesukanya menahan untuk menguap, lalu kembali ke rumah tanpa mengkhawatirkan Kannyuu. Kali ini, ia masuk melalui pintu masuk dengan benar, dan berniat menaiki tangga.
“.....Deidara”
Sasori keluar dari kamarnya seolah menunggu Deidara.
“Tuan Sasori. Ada apa?”
“Bersiaplah segera. Kita akan pergi”
Deidara berkedip tanpa sengaja. Sasori melanjutkannya tanpa peduli.
“Kita akan pergi mencuri tanah liat”
Deidara membuka lebar matanya yang berkedip dan menyeringai. Ia tak lagi mengantuk.
“Aku akan segera kembali..... un!”
“Jangan membuatku menunggu”
Seni adalah energi Deidara.
Mereka meninggalkan rumah itu agar Kannyuu tak menyadarinya, lalu tempat pertama yang mereka kunjungi adalah kuil Toujin. Sasori menatap gerbang Torii putih murni yang seolah tampak bersinar bahkan dalam kegelapan.
“Pertama-tama adalah memastikannya”
Dari bawah jubah “Akatsuki”, saat bertanya-tanya apakah ekor Hiruko itu berayun, tiba-tiba, ia menyerang gerbang itu. Gerbang yang terbuat dari keramik itu runtuh akibat dirusak oleh ekornya.
“Tuan! Mengapa kau tidak membiarkanku yang melakukannya! Curang sekali, un!”, jerit Deidara yang melihat kilauan asap terbang itu.
“Tak ada artinya jika kau meledakkannya. Deidara, ambil dan sentuhlah serpihan itu”
“Padahal sejak pertama kali melihatnya, aku ingin meledakkannya dengan seniku”
“Cerewet, diamlah dan cepat lakukan”
Sambil mengeluh bahwa hal itu adalah mencuri pawai seseorang, Deidara mengambil salah satu serpihan itu dan melacaknya dengan jarinya.
“..........!”
Sensasi tembikar terasa di ujung jarinya. Entah mengapa, ia dapat membayangkan sensasi pada saat benda itu adalah tanah liat. Itu adalah tanah liat dengan kualitas terbaik, yang tiada tanding dengan tanah liat di penambangan.
“Tuan, ini.....”
Sasori menertawakannya seolah ia telah mendapat kepercayaan itu, lalu menatap desa tempat asap itu melambung.
“Selain mengorbankan apa pun demi melindungi desa, Hanasaki itu diakui oleh nenekku yang tidak percaya pada orang lain. Bukan hanya teknologinya saja, tapi bahannya juga adalah yang terbaik”
“Kalau begitu, apa ada tambang tanah liat lainnya..... un?”
Jika begitu, di mana tempat itu berada? Pandangan Sasori tetap tertuju ke desa pada pertanyaannya. Tidak, lebih tepatnya adalah pusat kota. Asap itu juga mengepul dari sana.
“Deidara, apa kau pikir orang yang meremehkan seni bisa membuat barang yang bagus?”
―Walaupun Goushou terlihat seperti itu, ia memiliki kemampuan yang luar biasa.
Kalimat Kannyuu terngiang kembali. Saat ini, hal itu menjadi perasaan tidak nyaman dan meluap pada dirinya.
“Jika bahannya bagus, ada hal yang bisa berjalan dengan lancar sampai batas tertentu”
Sasori membaca segala pikirannya dari kalimat Kannyuu.
“Hehe..... tentu saja karya orang-orang seperti mereka itu tidaklah luar biasa, un!”
.
to be continued
Comments
Post a Comment