“.....Hee, seluruh kota ini benar-benar dipenuhi dengan tembikar ya, un!”
Deidara menatap sekeliling dengan ekspresi riang sambil melangkah maju di sepanjang jalan beraspal dengan ubin keramik yang berwarna-warni. Sejumlah toko seni keramik berbaris di kota, dan ubin keramik itu juga melekat pada luar dinding toko. Para pedagang yang membawa barang besar melihat ubin luar dinding itu dengan antusias.
“Hei, tuan. Mengapa mereka tidak masuk ke dalam toko itu? Un”
Jika seperti itu, maka akan lebih baik masuk ke dalam dan melihat barang-barangnya.
“.....Jika tokonya ada sebanyak ini, kita akan memakan banyak waktu untuk masuk ke dalam dan memeriksanya. Untuk menghemat waktu, mereka menempelkan ubinnya seperti ini”
“Jadi..... apa maksudnya, un?”
Sasori menjelaskan lebih jauh pada Deidara yang buruk dalam mencerna.
“Ini adalah tembikar yang dipegang oleh para penjaga toko..... Mereka menempelkan ubin yang dibuat oleh seniman keramik. Itu adalah sampel”
Jika diperhatikan dengan seksama, kualitas ubin itu beragam tergantung tokonya.
“Itu artinya, saat melihat luar dinding itu, kita hampir bisa membayangkan produk yang mereka tangani ya, un”
“Terlebih lagi jika menjadi seorang peneliti karya seni. Selain itu, toko yang dimiliki oleh banyak seniman keramik, ubinnya juga semakin beragam”
Ubin di luar dinding yang berada di hadapan Deidara itu bercelah. Di sisi lain, toko di seberang jalan memiliki ubin besar yang melekat tanpa celah di luar dindingnya.
Para pedagang juga condong menuju ke toko itu.
“Ini adalah sistem yang praktis, tapi ada pula bagian yang melambangkan simbol kekuasaan..... un”
“Haa, simbol kekuasaan ya..... Mungkin ini juga tidak salah. Lihatlah..... yang sebenarnya”
Sasori mengalihkan pandangannya ke pusat kota. Terdapat sebuah bangunan besar di sana.
“Kelihatannya seperti kuil..... un”
“Mungkin terlihat seperti itu. Tapi, itu bukan kuil..... itu adalah rumah kepala desa ini”
Saat berjalan lurus pada jalan ubin keramik, mereka akan tiba di rumah itu. Rupanya kota ini dibangun dengan rumah itu sebagai pusatnya.
“Besar sekali ya..... un”
Saat berdiri di depan rumah itu, ia kewalahan dengan ukurannya. Ribuan ubin tertempel di luar dinding itu seperti yang dikatakan Sasori.
“Alias, kediaman Toujin (Toujin yashiki). KeluargaToujin telah memerintah desa ini selama beberapa generasi”
Semua ubinnya sangat indah. Satu demi satu, sangat artistik. Tampaknya, ubin itu masih sedang dibangun, dan banyak ubin yang diangkut ke dalam rumahnya.
―Tapi.
“.....Apa pendapat tuan tentang seni ini?”
Tubuh asli Sasori berada di dalam boneka itu. Rasanya tubuh asli itu seolah menertawakan pertanyaan Deidara.
“Selera yang buruk”
“Kau benar, un!”, ucap Deidara mengangguk.
Bukan hanya kediaman Toujin ini.
Ia memang terkesan pada kota yang dapat membuatnya merasakan seni pada pandangan pertama dengan meletakkan ubin keramik itu di seluruh desa, tapi masing-masing karya yang membentuknya indah tak berarti dan sangat asertif itu membuatnya kesal.
Ia memiliki perasaan yang kuat untuk itu saat melihat rumah ini, namun ucapan Sasori yang mengatakan bahwa ini “Selera yang buruk” telah melegakan perasaan Deidara.
“Saat aku kemari sebelumnya, rasanya tidak seburuk ini”
“Un? Memangnya yang sebelumnya berbeda?”
“Aa. Saat itu, seluruh kota disatukan dalam warna putih yang sederhana”
Setelah mendengar perkataan Sasori, ia mengingat kalimat yang disebut sebagai putih pekat yang dibicarakan oleh Kannyuu.
“Hanya saja, ada lebih banyak pedagang yang datang untuk membeli daripada sebelumnya, dan kota ini lebih ramai. Sepertinya kota itu sendiri menjadi makmur”
“Ya, itu karena seni selalu berubah-ubah..... un”
Ia juga ingin mencoba melihat kota putih sederhana yang dilihat Sasori, tapi tak ada kemajuan dalam melihat kembali karya seni masa lalu.
“Tuan, ayo kita segera pergi mencari tanah liat itu, un!”
Ia sudah tak peduli pada kota itu. Ia harus mencari tanah liat untuk seninya.
Comments
Post a Comment