Skip to main content

LIGHT NOVEL NARUTO AKATSUKI HIDEN: SAKI MIDARERU AKU NO HANA TERJEMAHAN

PENGENALAN TOKOH & SINOPSIS

CHAPTER 3.2

 “.....Hee― tak kusangka seramai ini, un!”

Sudah empat hari berlalu setelah mereka meninggalkan kota yang hancur. Mengikuti perkataan Sasori yang mengatakan bahwa sebaiknya menghindari kontak dengan desa Sunagakure, setelah terbang melintasi negara sungai dengan hutan lebat, akhirnya kami masuk ke negara angin. 

Desa Tou tempat kami tiba terletak di lembah yang dikelilingi oleh perbukitan. Desa Sunagakure yang terletak di negara angin memiliki citra gurun yang kuat, tapi di sini banyak kawasan hijau dan air yang berlimpah.  

Skalanya lebih seperti kota daripada disebut desa. Deidara yang seenaknya membayangkan bahwa tempat ini adalah tempat terpencil dengan sedikit orang, kini tampak bersemangat. 

Terdapat banyak cerobong asap di kota itu, dan asap mengepul di mana-mana. 

“Tuan Sasori, apa itu?”

“Itu adalah asap tungku yang membakar tembikar. Di sini, api itu menyala di tungku pembakaran siang dan malam”

“Begitu ya―..... Ng? Tuan, lalu yang itu apa?”

Kali ini, ia menyadari sesuatu di seluruh kota yang berkilauan seolah memantulkan sinar mentari. 


“Itu adalah ubin keramik. Para penduduk desa di sini menggunakan keramik itu di dinding dan juga trotoar”

“He―”

Ubin keramik itu menghiasi seluruh kota di tungku yang terus menerus berasap. 

Di pusat kota, terdapat pula bangunan seperti kuil yang berkilauan, dan ini benar-benar sebuah desa seni. 

“Jika kuhancurkan dengan seniku, sepertinya akan lenyap dengan indah..... un” 

“Oi, jangan lupakan tujuanmu datang kemari”

Sambil mendengar kalimat peringatan yang ia ucapkan dengan kesal, kami mendarat di hutan belukar yang tak jauh dari kota untuk menghindari kontak mata. 

“.....Un? Ada apa, tuan?”

Saat mencoba menuju kota dengan mengenakan topi kerucut, ia menemukan Sasori yang sedang menatap ke arah yang berbeda dari kota. 

“Sepertinya orang-orang juga tinggal di sini”

Saat melihatnya, ada pula asap yang mengepul dari ujung belukar. Pasti ada tungku yang membakar tembikar. 

Saat baru saja bertanya-tanya apakah ada orang tua yang membenci keramaian dan hiruk pikuk kota, tiba-tiba, bunyi retakan yang keras bergema. 


“.....Oo?”

Bunyi itu bukan hanya sekali, dan terus berdentum. Deidara menatap wajah Sasori, tapi terdapat sesuatu yang menggelitik pada bunyi perusakan itu. 

“.....Tuan Sasori, aku akan melihat kondisinya, un!”

Deidara segera berlari tanpa menunggu balasannya. 

Belukar tempat Deidara mendarat berada di lereng bukit. Saat mendaki lereng terjal, ia menemukan banyak tungku yang berbaris di sepanjang lereng itu. 

“Jadi itu rupanya..... un”

Seorang gadis sedang berdiri di samping tungku semacam itu. Usianya sekitar pertengahan dua puluhan. Rambutnya yang diikat secara acak dan lusuh dipenuhi jelaga di seluruh tubuhnya. Sejujurnya, ia sangat kotor. Ia membawa vas putih di tangannya. 

Ia memutar vas itu, lalu membuang nafas setelah menatapnya hati-hati. Kemudian, ia mengangkat wajahnya. 

“Ini bukan putih pekat yang kuinginka―n!”

“..........!!”

Gadis itu menjerit dan mengayunkan kedua lengannya, lalu membanting vas itu ke tanah. Terdengar suara benturan yang keras. Saat melihatnya, tembikar yang hancur itu berserakan tak terhitung di sekelilingnya. Sepertinya ini adalah identitas bunyi perusakan itu. 

“.....Apa kau juga mengira bahwa seni adalah ledakan! Un!”

Setelah melihat pemandangan itu, Deidara melompat secara spontan. 

Itu karena Deidara yang menemukan keindahan dalam kehancuran mengira bahwa gadis itu memiliki kepekaan yang dekat dengannya. 

“.....!? Siapa kau?”

Deidara menunjukkan dirinya tiba-tiba, dan wajar saja jika gadis itu kebingungan. 

“Aku juga pencari seni! Kau juga merasakan keindahan sesaat dengan menghancurkan karya itu, ‘kan? Un!”

“Kehancuran adalah keindahan.....? Mana mungkin begitu”

Gadis itu langsung mengelaknya. 

“Yang kuhancurkan ini adalah..... karya yang gagal”

“.....Jika demikian, apa semuanya gagal?”

Sambil mengatakan hal itu, entah merasa marah menunggu, Sasori menampakkan dirinya dari belukar. 

Gadis itu menggigit bibirnya dengan longgar pada kalimat itu. 

“.....Benar. Kalian pasti orang asing. Jika kalian ingin membeli tembikar, sebaiknya pergi saja ke desa. Di sana ada banyak benda ‘Favorit orang asing’ ”


Setelah gadis itu mengatakannya, ia menginjak pecahan tembikar dan pergi menuju ke lokasi kerjanya di belakang tungku. Benar-benar gadis yang tidak ramah. 


“Sebelum itu, lihatlah seniku juga, un!”

Meski telah diabaikan, Deidara yang merasa simpati seenaknya, ia menghentikan gadis itu dan membuat burung kecil dari tanah liat peledak. 

“Seni.....?”

“Perhatikan baik-baik, un!”

Burung kecil itu mendekat sampai ke mata lawan, dan ia membentuk segel. 

―KATS!

“.....Tck!”

Karena benda itu meledak tanpa memberinya jeda untuk berkedip, gadis itu menutup telinganya meskipun kekuatannya kecil. 

“Bagaimana! Kau merasakan seni, ‘kan? Un!

Setelah melihat Deidara yang mengucapkannya dengan bangga, gadis itu berkata.

“.....Karya yang sangat buruk”


“Apa katamuu! Apa kau meremehkan seniku!”

Seketika Deidara membentak kesal pada kalimat terus terang itu. 

“Aku bukan meremehkannya”, lontar gadis itu dengan wajah getir.

“Itu karena orang yang menggunakan kata-kata seni sering membuat karya rumit dan aneh yang sulit ditafsirkan, lalu kupikir karya seperti itu akan muncul. Bertentangan dengan harapanku, ternyata yang muncul adalah karya sederhana, akhirnya, aku mengatakan karyamu buruk. Maafkan aku”

Sulit untuk memahaminya entah ia meminta maaf atau tidak, namun setidaknya, sepertinya ia menyesalinya. 

“Aku menyukai karya sederhana seperti ini. Aku juga merasakan keramahannya. Ledakan itu sulit untuk dipahami, tapi mungkin saja ada seni seperti itu”

Ia menerangkan kesannya dengan sederhana dan tenang. Meski sepertinya ia tak menganggap semua karya Deidara adalah karya yang bagus, namun sepertinya ia menunjukkan pengertiannya. 

“Namaku adalah Kannyuu. Aku hidup untuk menghidupkan kembali seni ‘Hanasaki’ (Bunga mekar) yang putih pekat..... Jika bunganya tidak mekar, maka semuanya gagal”

Ia menatap kembali pecahan keramik yang berserakan itu, dan wajah samping Kannyuu terdistorsi oleh penyesalan. 

“.....Jika kau adalah makhluk pengejar seni, aku tidak tahu apa kau akan menyukai produk di desa Tou atau tidak, tapi untuk saat ini sebaiknya kau pergi ke sana. Aku akan mengulen tanah. Sampai jumpa”


Lalu, Kannyuu menghilang menuju ke lokasi kerjanya. 

“ Seni ‘Bunga mekar’ pada ‘Putih pekat’..... apa maksudnya? Un?”

Deidara memungut sebuah pecahan keramik yang bergelinding itu dan mengangkatnya setinggi garis matanya. Permukannya dilapisi glasir untuk memberikan kilaunya, dan warnanya putih indah. Apa itu artinya ia bermaksud memutihkannya lebih dari ini? 

“.....Ng, yasudahlah! Tuan, ayo kita pergi ke kota dan jangan berlama-lama di tempat ini! Seni sedang memanggilku, un!”

“Kau sudah membuatku menunggu, kubunuh kau”

Meski Deidara merasa terjebak pada ucapan Kannyuu, ia melewati belukar dan menuju desa Tou. 

.
.
.
To be continued

Comments

Popular posts from this blog

PENGENALAN TOKOH & SINOPSIS

Light Novel NARUTO Akatsuki Hiden Saki Midareru Aku no Hana (JUMP JBOOKS) Masashi Kishimoto, Shin Towada, 2015 Shueisha ―BUNGA KEJAHATAN YANG BERMEKARAN― PENGENALAN TOKOH Konan ― Shinobi dari Desa Amegakure Pein ― Shinobi dari Desa Amegakure Tobi ― Pria Bertopeng Zetsu ― Pria Misterius Uchiha Itachi ― Shinobi dari Desa Konohagakure Kakuzu ― Shinobi dari Desa Takigakure Sasori ― Shinobi dari Desa Sunagakure Hoshigaki Kisame ― Shinobi dari Desa Kirigakure Deidara ― Shinobi dari Desa Iwagakure Hidan ― Shinobi dari Desa Yugakure Uchiha Sasuke ― Shinobi dari Desa Konohagakure SINOPSIS Seorang anak lelaki yang ditemui oleh Uchiha Sasuke dalam sebuah perjalanan. Lalu, anak itu bercerita. Ia mengatakan bahwa keluarganya dibunuh oleh “Akatsuki”. “Akatsuki”― sekelompok orang luar biasa yang mengenakan jubah hitam dengan awan merah yang mengapung. Mereka membunuh, merampok, dan membakar. Demi dirinya sendiri, demi orang terkasih, demi uang dan doa, demi seni, demi kedamaian, dan demi bunga yang m...

PROLOG ― AKHIR DARI BALAS DENDAM

狼の哭く日 HARI KETIKA SERIGALA MENANGIS Masashi Kishimoto, Akira Higashiyama, 7 November 2012 Shueisha Diterjemahkan oleh dchazelleee (@96itachiuchiha) Cerita ini dimulai ketika Sasuke berhasil mengalahkan Itachi. Tobi menceritakan segala kebenaran tentang Itachi padanya, kemudian menyerahkan benda peninggalan Itachi. Setelah semua itu, Sasuke memutuskan untuk mencari tahu dan memastikan ucapan Tobi. Kemudian, Sasuke bergerak dengan nama tim Taka setelahnya. Tak ada cahaya yang terpantul di dalam mata ini  Suara yang menyentuh benak pun tak terdengar Tak ada jalan menuju masa depan Hanyalah kesedihan bak serigala yang bertiup kencang menuju dunia . . . Hujan membasahi wajahku― Sejak kapan hujan itu turun? Api hitam itu menelan hutan. Amaterasu itu menghanguskan pepohonan, burung, dan membakar ular. Mengapa benda seperti itu berada di depan mataku? Orang yang tergeletak di bawah kakiku, mengapa Itachi tergeletak di tempat sepert...

PROLOG 1

Sayap kegelapan menyembunyikan langit malam. Bintang-bintang itu berkelip dengan tenang.  Bulan perak yang ia amati dengan tenang menyelimutinya dengan lembut bagaikan buaian.  Namun, sinar rembulan itu terlalu enggan untuk menyinari kaki seseorang.  Ia memerlukan cahaya. Cahaya yang kuat untuk menerangi jalan yang harus ditempuh.  Kegelapan itu secara perlahan terusir ke ujung pegunungan di seberang lautan untuk memenuhi keinginan orang-orang seperti itu.  Bintang itu pergi, bulan itu bersembunyi, dan menyampaikan malam ini akan segera berakhir.  Cahaya permulaan― “Akatsuki”. Suatu ketika, cahaya itu mencoba membakar dunia Shinobi. . . . To be continued