“Ngomong-ngomong, pembantaian adalah semboyan ajaran Jashin. ‘Dikau, bunuhlah tetanggamu’ ‘Saat mengenai pipi kanannya, ambillah jantung kirinya’ dan ucapan khas lainnya adalah.....”
Setelah pola khusus yang berada di seluruh tubuhnya menghilang dan mengakhiri doa panjangnya yang sia-sia, Hidan mulai mengajarkan ajaran Jashin pada Hohozuki yang mengamati ritualnya dengan tatapan yang sungguh-sungguh.
“Anu, rupanya pembantaian itulah yang menjadi keselamatan sebenarnya, ya. Tapi, apakah kekuatan diperlukan saat melakukan pembantaian itu?”
“Benar. Jika kita yang terbunuh, kita tak akan bisa meneruskan ajaran Jashin yang agung ini ke penjuru dunia. Untuk membuat ajaran ini tetap abadi, diciptakan atas banyak pengorbanan dari para penganut adalah alasan keabadianku”
Sudah lama ia tak berbicara tentang doktrin ajaran Jashin. Semangatnya membara saat membicarakannya. Tapi, sebaliknya ada seorang pria yang tidak tertarik dengan pembicaraan mereka.
“.....Aku sudah bosan mendengar ceritamu. Cepatlah akhiri saja”
Mayat karunia itu terguling di dasar tunggul, pelakunya sedang duduk di tunggul itu, dan Kakuzu mengeluh padanya yang seolah diam mengabaikan dirinya.
“Oi! Memangnya kau pikir berapa hari kau menyuruhku untuk menemanimu bekerja paruh waktu! Jika dibandingkan dengan hal itu, ini belum seberapa, ‘kan!”
“Bukankah tujuanmu juga sudah tercapai!”, jeritnya seolah ia dapat membicarakan orang lain dan menunjuk mayat yang terbalik itu.
“Keluarganya juga memiliki uang”
“Haa.....?”
“Tebakanmu payah sekali..... maksudku adalah aku juga ingin mencari keluarga orang ini”
“.....Haa!?”
Komentar lembur, yang benar saja, padahal Hidan berharap akan segera meninggalkan hutan ini setelah ritualnya selesai.
“Apa yang kau katakan! Memangnya kau pikir berapa lama waktu yang kita habiskan hanya untuk mencari orang ini! Maaf saja, aku tak akan menemani perjalananmu lagi!”
Ia ingin segera pergi dari hutan yang tidak memungkinkan dirinya untuk melakukan ritual itu. “Dasar bodoh”, lontar Kakuzu padanya.
“Apa yang kau maksud dengan bodoh itu!”
“Jika orang ini berada di sini, itu artinya sarangnya sudah dekat”
“Sarang?”
“Seharusnya ada tempat tinggalnya yang tidak jauh dari sini. Kemungkinan besar keluarganya juga berada di sana”
“Kemudian”, lanjut Kakuzu yang menatap Hohozuki.
“Oi, bocah. Kau, dari mana asalmu?”
“Eh? Anu, asalku?”
“Tidak mungkin ada seorang bocah yang bisa hidup sendiri di hutan yang dalam seperti ini. Bukankah di sekitar sini ada desa tersembunyi?”
Hohozuki memutar pandangannya seolah kebingungan, namun saat Hidan menanyakannya “Bagaimana?”, ia mengangguk dengan patuh.
“Anu, ada, desa di mana tempatku tinggal..... Di dekat sini”
Hohozuki menunjuk ke arah desa. Itu adalah arah yang Hidan dan Kakuzu lewati.
“Haa? Kami juga datang dari sana, tapi tidak ada desa sama sekali”
“Anu, anu, tapi ada”
Ia sama sekali tak terlihat berbohong. Saat Hidan mengirim pandangan bingungnya pada Kakuzu, Kakuzu memegang rambut mayat yang terbalik itu dan mengangkatnya. Wajah seorang pria yang berlumuran lumpur dan darah itu muncul.
“Apa pria ini juga penduduk desa?”
Tanpa rasa takut dengan mayat itu, Hohozuki mendekatkan tubuhnya dan memastikannya.
Ia mengerutkan alisnya, menyipitkan matanya yang besar, dan seolah berpikir keras pada akhirnya ia kebingungan.
“Anu, menurutku mungkin dia adalah penduduk desa, tapi..... aku tidak ingat”
“Apa desanya seluas itu?”
“Tidak, bukan begitu. Secara umum, aku mengenali wajah penduduk desa. Aku akan mengenalinya jika orang ini ada di desa, tapi.....”
Ia mengenali wajah penduduk desa, lalu membuat prediksi bahwa pria ini adalah penduduk desa, ini sangat tak konsisten. Lagi pula ada tidaknya desa di hutan ini juga mencurigakan. Mungkin Hohozuki juga merakasan kecurigaan itu.
“Anu, aku akan mengarahkan kalian jika ingin pergi ke desa!”
Sepertinya ia ingin menjernihkan kecurigaan itu.
“Ayolah”
Berbeda dengan Hidan yang beranggapan tak ada salahnya jika mencoba untuk pergi ke sana, Kakuzu sedang waspada.
“Kau menyaksikan kami yang telah mengabisi orang ini..... seorang penduduk desa di mana tempatmu tinggal. Dan saat ini kami juga berniat untuk menghabisi keluarganya. Mengapa, kau berniat untuk mengarahkan kami?”
“Anu! Itu karena aku ingin bergabung dengan ajaran Jashin! Sejujurnya, aku tidak menyukai desa itu.....”
Hohozuki memainkan pangsit lumpur yang dibawanya dengan gelisah.
“Ternyata, kau membenci desamu sendiri, ya?”
“Iya..... Sebenarnya desaku juga, memiliki nilai kebersamaan.....”
“Nilai kebersamaan?”
“Semboyannya adalah menghapus semua masa lalu dan hidup bahagia. Mereka menyuruh kami untuk melupakan hal yang tidak menyenangkan. Lalu, mereka juga mengatakan agar mencintai perdamaian dan ubahlah menjadi surga dunia ini”
“H―mm, begitu ya. Sepertinya ini tidak cocok dengan aliranku”
“Itu benar!”, ucap Hohozuki menyetujui perkataan Hidan.
“Aku selalu bersabar karena temanku mengatakan padaku untuk tinggal di sini bersamanya, tapi..... saat melihat Hidan yang bahkan hidup dengan rasa sakit maut yang terukir ditubuhmu, hal itu membuatku tersadar! Aku juga menginginkan cara hidup seperti itu! Karena itu, percayalah padaku!”
Hohozuki menatap Hidan dengan tatapan lurus.
“.....Bisakah kau mengarahkan kami ke desa itu untuk sementara? Aku akan mempercayaimu setelah itu”
Hohozuki mengangguk pada Kakuzu yang mengatakannya dari samping.
Anak itu mulai berjalan dari tunggul menuju arah selatan.
“Bagaimana―, Kakuzu?”
Sambil mengikuti jejak Hohozuki, Hidan yang tak bergairah melontarkan pertanyaan itu padanya.
“Kita sudah sejauh ini, aku akan mengambil uang sebanyak yang kubisa”
“Benar-benar, kau ini selalu saja uang, uang, uang, dan uang!”
Apakah desa yang berada di sekitar sini seperti yang dikatakan Hohozuki itu sungguh ada? Dan apakah, keluarga dari pria yang diincar Kakuzu juga tinggal di sana?
Hidan memang tak begitu tertarik dengan uang, tapi, jika ada desa di sana, mungkin ia dapat melakukan pembantaian.
Beberapa hari terakhir ini, ia hanya terus bertobat tanpa berkorban untuk ajaran Jashin. Selama dapat mengisi kekosongan itu, tak masalah baginya.
Comments
Post a Comment