“.....Di sini”
Hohozuki berkata dan menunjuk tebing.
Jika melihat ke bawah dari atas tebing, sungai yang mengalir di dasar terlihat jelas. Pasti sungai itu memakan waktu berbulan-bulan untuk mengikis tebing ini.
Angin bertiup kencang melalui lembah, dan terkadang, air di dasar terbing itu terbawa ke hutan.
“.....Mana mungkin ada desa di tempat seperti ini!”
“Anu, anu, benar-benar ada!”, ucap Hohozuki pada Hidan yang berteriak tanpa sengaja.
Setelah memperlihatkan pangsit lumpur miliknya pada Hidan dan Kakuzu, ia melemparnya ke tepi laut di seberang tebing dengan sekuat tenaga.
“Apa yang kau lakukan?”
Saat mengamati pangsit lumpur yang kecil itu dengan seksama, pangsit lumpur itu tidak menabrak dinding yang ada di sana.
“Ng, menghilang.....?”
Begitu pangsit lumpurnya tiba di seberang pantai, wujudnya menghilang dan tak terlihat.
“Chih, Genjutsu ya.....”
Entah memahami situasinya, Kakuzu menatapnya dengan tajam.
“Oi oi, Kakuzu, apa maksudnya!”
“Sepertinya kita terjebak ke dalam Genjutsu tanpa disadari. Karena itulah, kita hanya bisa melihat tebing di tempat ini”
Kemudian, angin kencang bertiup dari dasar lembah.
Karena efek berdiri di tepi tebing, air sungai yang mengandung angin itu menyentuh pipi seperti kabut. “Apa ini penyebabnya?”, gumam Kakuzu yang mendengus kecil.
“Hei, hei, apa maksudnya ini!”
“Anu, aku mencampurkan aroma yang memiliki efek Genjutsu pada air di dasar sungai yang melonjak ke atas, lalu menerbangkannya. Aroma ini memiliki efek relaksasi, sehingga membuatmu mengira bahwa itu adalah udara hutan yang sejuk, dan aroma ini juga memiliki kekuatan yang membuatmu tak menyadari bahwa dirimu sedang terjebak ke dalam Genjutsu”
Jika dipikir-pikir, udara di daerah ini terasa bersih.
Kakuzu membentuk segel dengan cepat.
“Kai!”
“Begitu rupanya.....”, Kakuzu yang melepas Genjutsu melihat tebing itu kedua kalinya dan berkata dengan raut yang meyakinkan.
“Kakuzu! Perlihatkan juga padaku!”
“Lakukan saja sendiri”, keluh Kakuzu pada Hidan yang putus asa, meskipun begitu, Kakuzu tetap melepaskan Genjutsu itu untuknya.
“.....! Yang benar saja.....”
Hidan menahan napasnya saat melihat pemandangan itu.
Terdapat lubang besar di sisi tebing, dan rumah-rumah berjajar di dalam lubang itu.
Deidara, salah satu anggota “Akatsuki” yang hanya memikirkan seni, memiliki emosi misterius yang membuatnya ingin segera meledakkannya jika ia melihat pemandangan ini.
“.....Penduduk desa menyebutnya sebagai ‘Tougenkyou’.....”
Hohozuki yang ceria seperti memurungkan pandangannya saat melihat desa itu. Tapi, Hidan tak peduli dengan hal itu.
“Apa benar keluarga pria itu ada di sana? Bagaimana, Kakuzu? Apa sebaiknya kita habisi saja mereka?”
Jika Hidan dan Kakuzu bersatu, mereka berdua dapat menghancurkan desa itu dengan mudah. Tapi, Kakuzu menolaknya.
“Ini lingkungan yang cukup istimewa..... tak ada ruginya jika kita masuk ke dalam, ‘kan?”
“Apa kau mencium bau uang?”
“.....Mungkin”
Bagaimanapun juga ia ingin melakukan kekerasan, namun jika untuk melakukan penyusupan rahasia, ia akan menunda ritualnya. Semangatnya menurun drastis.
“ ‘Di dalam desa’ para penduduk saling mengenal wajahnya masing-masing. Kalau kita tetap masuk ke dalam seperti ini, mungkin akan ketahuan”
Hohozuki mengatakannya seolah mengkhawatirkan Kakuzu.
“Desa ini sangat tersembunyi..... tentu saja hal itu akan terjadi”
“Jadi bagaimana, Kakuzu?”
Apa sebaiknya kita habisi saja? Usul Hidan dengan mudah, tapi Hohozuki menimpal pembicaraan mereka. “Anu”
“Jika kalian berkenan, silahkan gunakan wujudku dengan Henge no Jutsu. Dengan begitu, pasti tak akan ketahuan”
Hohozuki menunjuk wajahnya sendiri. Kakuzu mendengus setelah mendengarnya, lalu membuat segel.
“Ou―”
Persis sekali. Saat berbaris, kau tak akan tahu mana yang asli.
“Kakuzu, bagaimana denganku?”
“Kau tidak cocok dalam menyusup..... tunggulah di sini”
Ia telah mendunganya akan jadi seperti ini, lalu ia memanyunkan bibirnya dan berkata membosankan.
“Anu, karena kondisi desanya sangat rumit, menurutku kita tak akan mengerti tanpa petunjuk arah. Saat kau memasuki desa, ada pilar kayu di belakangnya, pergilah ke sana. Dengan begitu, temanku yang bernama ‘Ameyuki’ pasti akan datang mendekatimu. Lalu―”
Saat berjongkok di tempat itu, Hohozuki mengumpulkan tanah dan menguleninya. Dalam sekejap tanah itu menjadi pangsit lumpur yang besar, lalu ia memberikannya untuk Kakuzu.
“Jika kau menyerahkan ini pada Ameyuki, pasti akan baik-baik saja”
Kakuzu bertanya-tanya sebenarnya apa yang akan terjadi pada pangsit lumpur tak berarti itu, namun ia tetap menerimanya.
“Lalu, bagaimana cara masuk ke dalamnya?”
Nampaknya sulit untuk masuk ke dalam desa yang berada di sisi tebing itu.
“Melompat”
Namun, cara yang cukup primitif tiba setelah datang ke sini.
“Oi oi, cara macam apa itu”
“Jika membuat jalan sembarangan, hal itu akan mudah disadari orang lain dan membuatnya mudah menyusup ke dalam, karena itulah sepertinya mereka tak membuatnya. Karena kalian seorang Ninja, pasti akan bisa masuk”
“Itu artinya, apa kau juga seorang Ninja?”
Namun, ia sama sekali tak terlihat seperti itu. Hohozuki menyatukan kedua tangannya yang berlumpur, lalu mengangguk kecil.
“Hidan, kau awasi saja dia. Aku akan segera kembali”
Jika hanya itu satu-satunya cara, maka tak ada pilihan lain selain melompat. Kakuzu menendang tebing itu, lalu melompat tinggi. Ini adalah gerakan yang sama dengan orbit pangsit lumpur yang dilemparkan Hohozuki ke arah tebing di tepi seberang itu.
“Karena hidup lebih lama, wajar saja jika Kakuzu sangat cekatan dalam melakukan apa pun”
Ia mendarat dengan selamat dan menghilang ke desa jauh di dalam lubang itu, tanpa berbalik ke arahnya.
“Baiklah. Sebaiknya aku menunggu saja. Membosankan sekali”
“Anu, jika kau berkenan, tolong beri tahu aku lebih dalam lagi tentang ajaran Jashin!”
Hohozuki membunyikan leher seolah meregangkan tubuhnya, lalu mengatakannya saat merentangkan kedua tangannya.
Meskipun setelah masuk ke “Akatsuki”, namun hanya ada ateis di sekitarnya. Tak ada yang mendengarkannya saat ia mencoba berbicara tentang ajaran Jashin.
“Apa boleh buat! Mulanya, ajaran Jashin itu adalah―”
“.....Bentuk yang langka”
Saat Hidan menceritakan tentang ajaran Jashin. Kakuzu telah menginjakkan kakinya di desa itu.
Ada beberapa pria yang mirip penduduk desa di dekat pintu masuk, dan mereka membentuk sebuah segel.
Pasti merekalah yang menerapkan Genjutsu itu di atas air sungai yang meluap. Jika mereka melakukan ini setiap hari tanpa istirahat, mereka cukup waspada.
Ia tidak mengetahuinya saat melihat dari luar, namun di dalam lubang itu terdapat kedalaman di luar dugaannya, dan bangunan-bangunannya berbaris rapat. Sepertinya cukup memakan waktu untuk mencari orang di tempat ini.
Ia khawatir Hidan akan melewati batasnya dan mengamuk, namun jika ada anak yang bernama Hohozuki itu, sepertinya ia dapat bertahan untuk sementara waktu dengan bercerita ajaran Jashin.
Sedikit jauh dari pintu masuk, tepat seperti yang dikatakan Hohozuki, di sana terdapat batang pohon besar yang menopang lubang sebagai pilarnya. Berbicara tentang rumah, ini adalah pilar besar sebagai pusat sebuah bangunan.
Jika berada di sini, temannya pasti akan segera datang kemari. Tetap seperti wujud Hohozuki yang merasa tak nyaman karena tempatnya sempit, Kakuzu melihat sekitarnya.
“.....Hohozuki”
Kemudian, terdengar suara yang memanggilnya dari bayangan pohon.
Saat memperhatikannya, muncul seorang anak berkulit gelap dengan rambut perak yang fisiknya tidak bisa dibedakan apakah ia seorang pria atau wanita. Terlihat netral, tapi sepertinya laki-laki. Mungkin usianya sedikit di atas Hohozuki.
“ ‘Ameyuki’, ya?”
Saat memanggil namanya, ia menghentikan langkahnya seolah menebak sesuatu. Pandangannya tertuju pada pangsit lumpur yang berada di tangan Kakuzu. Ia menyerahkan pangsit lumpur itu padanya sesuatu perkataan Hohozuki. Terasa ada aliran Chakra pada pangsit lumpur itu.
“..........”
Saat ia menerimanya, ia langsung menghancurkannya. Chakra yang tampaknya terkandung dalam pangsit lumpur itu memasuki tubuhnya.
“Begitu ya..... Jadi begitu rupanya.....”
Rupanya, pangsit lumpur itu memainkan peran komunikasi.
“Baiklah. Aku Ameyuki..... aku adalah teman Hohozuki.....”
“Aku akan mengarahkanmu.....”, ucapnya yang menundukkan kepalanya dalam-dalam, lalu berjalan.
Kakuzu tidak tahu apa hal yang sebenarnya disampaikan Hohozuki pada anak itu, tapi ini adalah tindakan yang sopan untuk menyambut tamu.
Hanya saja, Kakuzu tak begitu hijau untuk mempercayai kedua bocah lelaki bernama Hohozuki dan Ameyuki itu.
“Mengapa aku yang berkerja sama..... apa hal itu membuat benakmu bertanya-tanya.....?”
Jika dibandingkan dengan Hidan dan Hohozuki, sepertinya tebakan anak ini jauh lebih baik.
“Itu hal yang mudah..... aku ini tak punya tekad..... aku hanya hidup..... sesuai yang Hohozuki inginkan..... meski menyipitkan mata ini, aku tidak bisa melihat apa pun..... benar..... aku adalah wadah yang hampa.....”
Bagaikan seorang hantu hidup, kata-kata yang keluar dari bibirnya, kosong.
“.....Tapi, bukankah Hohozuki mengatakan bahwa ia tinggal di sini karena temannya memintanya untuk tinggal di sini?”
Kakuzu menanyakan kalimat yang tak sesuai dengan apa yang didengarnya dari Hohozuki.
“Tinggal di desa..... itu juga tekad Hohozuki..... aku..... hanyalah seorang Ameyuki.....”
Balasan Ameyuki tak menjawab pertanyaannya. Ia hanya mengatakan hal-hal yang misterius.
“Jangan khawatirkan tentang diriku..... Anda cari saja sesuatu yang dapat mengisi wadah Anda.....”
Desa gua ini tampak suram karena kekurangan cahaya, namun penduduk desa datang dan pergi dengan senyum yang cerah.
“Yeah, hari ini juga damai ya”
“Apa kau sudah menanti masa depan dengan baik?”
“Kita masih hidup sampai sekarang, bahagia sekali ya”
Setiap kali penduduk desa bertemu, mereka mengatakakan hal seperti itu.
“.....Ini adalah tekanan dari kedamaian dan kebahagiaan”
Jika membawa Hidan ke sini, sepertinya ia akan mengamuk.
“Ini adalah nilai kebersamaan dari desa ini...... menghapus masa lalu, dan hidup bahagia.....”
“Apa kau kira itu akan berhasil?”
“.....Entah..... aku hanya tahu tentang Hohozuki..... aku tak mengerti, hanya saja.....”
“Hanya saja?”
Ameyuki berbalik dengan lembut, lalu memandangi hutan yang subur di seberang pantai gua ini.
“Jika Hohozoku tidak mengetahui wajah pria yang kalian habisi..... sebenarnya memang begitu..... ‘Tougenkyou’ itu tidak ada..... tempat ini adalah..... ‘Lembah semu’ ”
Ameyuki mengeruhkan matanya seperti lumpur, dan melontarkan ucapan itu.
“.....Jadi, ajaran Jashin adalah ajaran terkuat”
Saat Kakuzu sedang menyelidiki “Tougenkyou”, Hidan dan Hohozuki kembali ke tunggul itu saat dikatakan bahwa mereka mungkin akan terperangkap Genjutsu untuk kedua kalinya jika berada di tebing itu. “Aku semakin ingin bergabung dengan ajaran itu!”, ia selalu terkesan setiap mendengar apa pun dan mengatakannya dengan antusias.
“Anu! Tapi, pembantaian itu sulit ya..... Orang yang menginginkan perdamaian sebaliknya akan terbunuh”
“Tak masalah jika menghabisi mereka semua. Sebagian besar, tak ada orang yang selemah mereka yang membicarakan kedamaian”
Hidan yang seolah tertawa membodohinya melanjutkan ucapannya.
“Dulu, ada ateis pasifisme di sekitarku. Dia menghindari pertempuran, dan merupakan seorang pengecut yang takut untuk menyakiti orang lain. Semua orang hanya membicarakan hal itu”
“Begitu ya?”
“Iya”, ucap Hidan mengangguk.
“Saat aku kehilangan kasih sayang pada perdamaian yang konyol ini, apa kau tau apa yang sudah mereka lakukan padaku? Mereka mencoba untuk membunuhku. Jika mereka menyukai kedamaian, dan membenci peperangan, alangkah baiknya mereka mati dan membiarkan aku yang melakukannya”
“Benar juga ya”, ucap Hohozuki terkejut dan menyetujui perkataannya.
“Pada akhirnya, diri ini hanya memaksakan keinginan pada orang-orang untuk hidup di dunia yang jauh dari kematian dengan keselamatan dan keamanan. Jika hal itu dihancurkan, aku akan mencoba membunuh lawan dengan tenang. Padahal jika ingin terlepas dari ketakutan akan kematian, mati pun tak masalah”
Tapi, jika mereka semua mati, yang merepotkan adalah hilangnya pengorbanan pada ajaran Jashin.
“Untuk menyelematkan kita dari rasa takut akan kematian, tak ada pilihan lain selain membunuhnya.....”
Sepertinya, Hohozuki mengingat ucapan Hidan dengan caranya sendiri.
Setelah banyak berbincang, senja telah tiba saat mereka menyadarinya. Apakah Kakuzu masih mencari keluarga si pria karunia itu?
“Ngomong-ngomong”, lontar Hohozuki padanya saat memikirkan Kakuzu yang serakah dengan uang seperti biasanya.
“Anu, dikau, bunuhlah tetanggamu..... itu artinya, apa kau juga harus membunuh Kakuzu?”
Seperti yang dikatakan Hohozuki, mungkin Kakuzu adalah sosok terdekatnya saat ini. Tapi, Hidan berkata “Kakuzu itu bukan tetanggaku” padanya.
“Bukan tetanggamu?”
“Si pelit itu sangat berkebalikan denganku, tahu? Sebagai tetangga, dia bukan gayaku”
Tubuh Hohozuki bergetar sembari mendengar ucapannya. Ia memegangi dadanya dan mengangguk seolah memastikan sesuatu.
“Benar..... Hidan dan..... Kakuzu berbeda..... sama seperti aku dan..... Ameyuki.....”
Hohozuki menyipitkan matanya dan tertawa pelan. Ia memutar pandangannya ke arah tebing.
“Anu, menurutku sebentar lagi Kakuzu akan segera kembali”
Seperti yang dikatakannya, Kakuzu kembali tanpa memakan banyak waktu. Tapi, dengan tangan kosong.
“Lho― memangnya tidak ada?”
“Aku sudah memastikan seluruh wajah penduduk desa, tapi selagi aku melihat wajahnya, aku tak menemukan orang yang seperti keluarganya”
Kalau begitu, urusan dengan desa itu telah usai. Hidan menatap pria karunia yang berguling di bawah kakinya. Tak masalah jika membunuh seluruh penduduk desa, namun jika tak segera membawa mayat ini ke tempat penukaran uang, ia akan membusuk. Sebab, untuk meninggalkan desa ini saja memakan waktu berhari-hari.
“Kalau begitu, ayo cepat pergi dari hutan ini―”
Hidan mengatakannya lalu berdiri. Tapi, “Tidak..... hari ini kita akan berkemah di sini. Kita akan pergi dini hari” , Kakuzu mengatakan bahwa ia akan tetap tinggal di sini.
“Haa―!? Urusanmu di sini sudah selesai, ‘kan! Orang ini akan membusuk!”
“..........”
Ia bersikeras menunjuk mayat itu, namun Kakuzu mengabaikannya dan memulai persiapan kemah.
“Anu, kalau begitu aku pamit dulu. Jika kalian pergi besok, aku akan mengantar kalian! Sampai jumpa!”
Ia juga menunduk berterima kasih, lalu berlari ke arah tebing.
“.....Dia sangat memujamu”
“Itu artinya ajaran Jashin memang luar biasa”
Hidan bangga menunjukkan hal ini padanya. Kakuzu juga menerimanya dengan ringan dan berkata dengan tatapannya yang menghadap tebing tempat Hohozuki berpulang.
“Besok, kita akan membunuh bocah itu dan Ameyuki di desa ini, dan meninggalkan hutan”
Hidan berkedip pada ucapannya.
“Ha? Mengapa begitu?”
“Mereka tahu lebih banyak tentang kita”
“Memang begitu sih. Lalu, bukankah lebih baik kita membunuh mereka sekarang?”
Hohozuki yang berada di sini sampai saat ini, dan juga Ameyuki yang ditemui Kakuzu di desa itu, seharusnya ada banyak waktu untuk membunuhnya.
Kakuzu menatap pria yang berguling itu.
“Sekilas, keluarga orang ini tak ada di desa..... tapi, ada penduduk desa yang berkeliaran dengan gelisah”
“Bukankah orang yang berkeliaran dengan gelisah itu tak ada di mana pun?”
Tapi, ia tak merasakan perlunya pengawasan khusus.
“Desa itu sangat istimewa. Semua penduduk desa membicarakan kebahagiaan dan menyembunyikan emosi negatif mereka”
“Hal macam apa itu. Menjijikan sekali”
“Di antara mereka, aku melihat seseorang yang memancarkan kecemasan seolah sedang mencari seseorang”
“Kalau begitu, bukankah sebaiknya kau bunuh saja?”
Saat Hidan semakin tak mengerti, ia melipat lengannya dan memiringkan kepalanya.
Apa yang ia sembunyikan?
“.....Aku akan mengawasi situasi semalaman..... dengan begitu, kita bisa melihat kebenaran dari lembah ini.....”
Walau tak bisa melihat maksud sebenarnya, tapi ia tahu bahwa suasana hatinya semakin meningkat. Mungkin ia merasa hal itu akan menghasilkan uang.
Membunuh seseorang dengan tujuan mendapatkan uang memang bertentangan dengan ajaran Jashin, tapi jika Kakuzu bergerak demi uang, di sanalah pertempuran dimulai.
“.....Tak masalah jika kau tidak mengamuk”
Comments
Post a Comment