Seseorang menghiasi hidupnya dengan kata-kata yang indah, dan mengatakan sesuatu tak berbentuk yang menakjubkan.
Namun, hidup itu berarti saling merenggut. Hidup itu berarti terus berbuat dosa.
Memberitakan kebajikan yang bahkan tak mengatasi rasa lapar ini, apa yang akan terjadi?
Sebagai perampok, sebagai pelaku, dan hidup dengan arogan adalah takdir yang alami.
Tak perlu keegoisan. Itulah perampok sejati.
“.....Hei, ayo cepat kita selesaikan”
Angin yang berhembus dari dasar lembah mengalirkan udara sejuk ke dalam hutan.
Tempat yang dikelilingi oleh pegunungan di semua sisi dan jauh dari penduduk desa ini adalah tempat yang sangat cocok untuk bertengger.
Tapi, bagi Hidan yang menganut aliran Jashin, mengorbankan dirinya pada dewa Jashin, dan mencari pembantaian, tak ada yang lebih membosankan daripada tempat ini.
Saat memikirkan alasan dirinya berada ditempat yang membosankan ini adalah untuk menghasilkan uang, hal ini membuatnya ingin mengabaikan peraturan “Akatsuki” dan membunuh orang yang menyebabkannya.
Meski dikatakan begitu, karena dirinya dan lawannya juga tak akan mati meski terbunuh, ini hanya akan menjadi pertarungan yang sia-sia.
“Ah―, untuk menjaga sila, kita harus cepat pergi dari hutan yang membosankan ini, dan aku ingin segera membantai siapa pun yang kutemui―”
Hidan yang enggan berada di organisasi bernama “Akatsuki” melontarkan ucapan itu pada rekan pria yang berjalan di hadapannya, Kakuzu.
“Kasir itu mengatakan sepertinya karunia 15 juta Ryo itu berada di hutan ini. Dia tak akan bicara hal yang tidak menghasilkan uang”
Pasti Kakuzu ingin mengatakan bahwa itu adalah informasi terpercaya. Tapi, bagaimanapun Hidan tak peduli akan hal itu.
Bagi umat beragama yang terbentuk pada dasarnya, keterikatan dengan uang adalah salah satu peraturannya.
Kakuzu yang sering mengatakan bahwa hanya uang yang bisa ia percayai, dapat dikatakan dirinya berkebalikan dari Hidan.
Hidan memasang raut kesal di wajahnya, lalu duduk di sebuah tanggul yang dilihatnya. Entah awalnya sebuah pohon besar, ukurannya cukup besar untuk berbaring di atasnya.
“Maaf saja aku tak bisa menemanimu berkeliling tanpa tujuan seperti ini. Lagi pula, aku harus mengucapkan doa pertobatan karena tidak bisa melakukan ritualku hari ini, Kakuzu, kau pergi saja sendiri untuk mencarinya. Aku tak akan bergerak selangkah pun dari sini”
Hidan mengeluarkan kalung bersimbol ajaran Jashin miliknya.
Kali ini sambil mengatakan “Lagi-lagi berdoa.....” dengan terkejut, Kakuzu melihat tunggul tempat Hidan duduk.
“..........”
Dan sepertinya ia menyadari sesuatu.
“.....Aku baru saja mengabaikan hal yang sederhana”
“Ng? Hal apa?”
“Tidak salah lagi, aku melihat orang di sekitar sini”
“Hah―?”
Hutan ini sangat luas dan dikelilingi pegunungan terjal di sekitarnya. Tempat ini bukan lagi wilayah manusia, tapi binatang buas. Ia telah mengatakannya berkali-kali pada Kakuzu, tidak mungkin ada orang di tempat seperti ini.
Namun, Kakuzu menunjuk tunggul tempat Hidan duduk dengan dagunya.
“Tunggul itu tak terbentuk secara alami oleh petir dan pohon tumbang. Benda itu dipotong oleh tangan manusia”
Hidan menatap kembali tunggul itu. Potongannya rata seperti meja.
“Ya―, benar juga sih”
Ia menyetujui bagian itu, tapi bukan berarti ia mengiyakan tentang kemungkinan orang lain berada di sini.
“Bukankah seseorang memotong dan memilikinya di masa lalu? Misalnya saja, membuat kursi gereja”
“Potongannya terlalu baru untuk itu”
“Ng? Hmm―, begitu ya..... ya ampun!”
Pokoknya ia ingin segera pergi meninggalkan hutan ini.
“Kita sudah mencarinya sejauh ini tapi tidak ada! Selama mereka tak menghampiri kita, percuma saja untuk menemukannya!”
Sebaiknya menyerah saja, iya, namun masih berniat melanjutkannya.
“.....Si, siapa kalian!”
Tiba-tiba, terdengar suara pria tak dikenal. Saat menatapnya, seorang pria paruh baya berdiri di sana.
Kakuzu yang minim dengan perubahan emosi, berbeda dengan Hidan yang merasakan suasana hatinya lebih baik tepat setelah ia memastikan wajah lawannya.
“Sepertinya kau datang dari sana, ya”
“Yang benar saja kau!”
Bukan hanya Kakuzu yang merasakan emosinya membaik.
“Yosshaaaaa―! Dewa Jashin―! Akhirnya aku bisa melakukan ritual ini―!”
Orang pertama yang ia jumpai setelah sekian lama. Kalung yang ia genggam untuk bertobat diubahnya menjadi doa pelaksanaan ritual, lalu Hidan bangkit dengan penuh semangat dari tunggul itu.
“Bukankah hari ini kau tak akan bergerak selangkah pun?”
“Pengecualian jika aku bisa melakukan ritual! Jika aku tak melakukannya dengan benar, berkah dari dewa Jashin akan menjauhiku. Jika hubunganku dengan dewa Jashin memudar, aku tidak bisa hidup dengan diriku.....”
“.....Aku tak mengerti perasaan religiusmu, tapi aku tahu bahwa 15 juta Ryo itu akan pergi karena ocehan panjangmu itu”
Seperti yang dikatakan Kakuzu, lawan itu berbalik dan berlari pada pandangan pertama.
“Ini adalah 15 juta Ryo yang baru saja kutemukan. Aku akan membunuhmu jika kau membiarkannya kabur”
“Sudah kubilang akulah yang akan menghabisinya! Kau― jangan bergerak selangkah pun dari sana!”
Hidan membentaknya sambil menunjuk tunggul itu. “Ya ampun”, ucap Kakuzu yang menyilangkan lengannya.
“.....Hidan. Jika terbawa suasana kau akan mati”
“Kau tidak perlu mengatakan hal itu, Kakuzu!”
Hidan tertawa menyeringai dan menendang tanah itu. Jaraknya menyusut dalam sekejap, lalu ia mengayunkan sabit dengan tiga bilah miliknya.
“Gyaa!”
Bilah itu mengenai tubuh lawan dan menyipratkan darah. Tapi, tidak sampai terluka fatal.
“Si, sial, kalau terus bertarung seperti ini.....”
Lawan yang menganggap dirinya tak dapat melarikan diri mencoba menoleh ke belakang dan membuat segel, tapi Hidan yang mendapatkan darah lawannya tertawa melengking, “HAHAHAHA!”
Hidan mengeluarkan satu alat lagi dari dalam jubahnya. Meski terlihat seperti tongkat biasa, ujungnya memanjang saat Hidan mengayunkannya ke atas dan ke bawah, lalu menjadi sebuah tombak yang tajam.
“Dewa Jashinnnn! Akan kutunjukkan keyakinanku padamuuuuu!”
Hidan menusuk ujung runcing itu ke telapak tangannya. Karunia itu membulatkan matanya pada aksi tak terduga itu.
“Khukhu.....”
Ia menarik senjatanya, lalu meneteskan darah yang mengalir itu ke tanah dan membuat simbol ajaran Jashin. Hidan yang berdiri di tengahnya menjilat darah lawan yang menempel di sabitnya. Kemudian, pola menyerupai tengkorak muncul di tubuhnya.
“Ketentuannya sudah siap..... Ini ini ini iniiiiiiiii! Dewa Jashin pasti sangat gembiraaaaa!”
Ketegangan mencapai puncaknya. Ia sudah tak sabar lagi. Rasa sakit superlatif itu akan segera merasuki tubuhnya.
“Ayo kita mulai!!”
Hidan menusuk jantungnya sendiri. Tanpa mengerti apa yang sedang terjadi, pria yang terheran-heran dengan tindakannya merasakan nyeri luar biasa pada jantungnya, dan menyemburkan darah dari mulutnya.
“Ini menyenangkan.....!”
Rasa kematian yang sudah lama tak ia rasakan. Hal itu mengubahnya menjadi kesenangan yang kuat dan mendominasi tubuhnya. Pada akhirnya, seorang karunia itu mati tanpa bisa berbuat apa pun. Yang tersisa di tempat ini hanyalah napas berat Hidan.
“.....Lu, luar biasa”
Tapi, terdengar lagi suara yang baru.
Menikmati rasa sakit kematian dan berniat menggigit kesenangan terakhirnya, suara itu membuat Hidan kembali pada kenyataan.
“Siapa penganggu itu!”
Ia menatap pemilik suara itu dengan tatapan jengkel dan waspada, namun saat memastikannya, tubuhnya melemah. Kali ini seorang anak laki-laki sekitar 10 tahun menatap ke arahnya dari balik pohon, padahal awalnya ia mengatakan tak mungkin ada orang di tempat seperti ini. Dan terlihat dengan senang hati.
Entah sedang bermain tanah, anak itu menggenggam pangsit lumpur di tangannya.
“Apa-apaan kau ini”
Hidan memiringkan kepalanya tanpa sengaja.
“.....Ada apa, Hidan? Apa doanya sudah selesai?”
Kakuzu yang menunggunya di tunggul itu menampakkan dirinya kala menyadari terdapat sesuatu yang aneh.
“Ini baru saja akan dimulai! Ngomong-ngomong Kakuzu, di sini ada bocah”
Saat Hidan menunjuk anak laki-laki yang mengintipnya dari balik pohon, Kakuzu menatap Hidan.
“Hidan, jangan lengah meskipun ia hanya seorang bocah..... kau akan mati”
“Aku ingin mati jika itu bisa. Lagi pula, mana mungkin aku dihabisi oleh bocah seperti ini!”
Hidan meraih sabitnya lagi dan memutarnya satu putaran.
“Bagaimana kalau kita habisi saja?”
Meski berniat menyingkirkannya sesegera mungkin, bocah itu tak berniat melarikan diri.
Jangankan hal itu, pipinya memerah.
“.....Tunggu, Hidan. Dia bocah yang aneh.....”
Entah mencurigainya, Kakuzu menghentikan Hidan yang memegang sabitnya.
“Ya, benar juga.....”
Saat menurunkan sabit dan menatapnya, anak itu menggenggam erat tangannya, lalu memiringkan tubuhnya ke depan dan melontarkan pertanyaan, “Anu!”.
“Bagaimana caranya melakukan teknik itu! Apa itu tidak menyakitkan!”
“Huh? Tentu saja menyakitkan tahu. Rasa sakitnya bukan setingkat kematian―, rasanya seperti mau mati”
“Rasa sakit kematian.....! Demi menghabisi lawan, kau juga merasakan rasa sakit kematian..... Kau mengukir kematian lawan di tubuhmu..... Keren sekali.....!”
“Dia aneh sekali”, ucap Hidan pada Kakuzu yang melihat bocah kegirangan itu.
“Menurutku, kau juga aneh.....”
“Apa katamu―!”
Hidan mengeraskan suaranya tak sengaja, dan tanpa rasa gentar, bocah itu terus melontarkan pertanyaannya.
“Apakah rasa sakit kematian itu tidak membuatmu menderita!”
“Ah.....? Aku ini adalah penganut ajaran Jashin, tahu? Aku sama sekali tidak takut karena dewa Jashin akan melindungiku―”
“Ajaran Jashin, dewa Jashin.....”
Anak itu mengulangi kalimatnya berkali-kali. Lalu, ia mengangkat wajahnya seolah telah menemukan jawaban.
“Anu! Aku juga ingin bergabung dalam ajaran Jashin! Bagaimana caranya agar aku bisa bergabung!”
“Bocah ini, benar-benar bodoh”, lontar Kakuzu pada ucapan tak terduga itu.
“Oi, apa maksudmu! Ajaran Jashin adalah ajaran terkuat dan terunik di dunia ini tahu! Bukan hal aneh jika ada orang yang ingin mempercayainya, ‘kan?”
Hidan yang baru saja mengatakan bahwa bocah itu aneh, entah mengapa ia juga seperti menentang ucapan Kakuzu.
“Anu! Kau benar! Ini bukan hal aneh!”
Seolah setuju dengan Hidan, anak itu juga menjerit padanya. “Hanya uanglah yang bisa kupercaya”, ucap Kakuzu yang mengkalim dirinya sendiri, lalu bertanya pada anak itu.
“Kau, siapa namamu?”
Menanyakan nama orang lain adalah momen langka bagi Kakuzu.
“Anu, namaku adalah Hohozuki!”
Hohozuki. Hidan kembali menatapnya lagi. Seorang anak laki-laki menawan yang sepertinya dapat ditemukan di mana saja. Tapi, jangankan merasa gentar saat melihat manusia yang dihabisi Hidan dengan ritualnya, anak itu berkata ingin mengikuti ajarannya, dan bagaimanapun ini bukanlah hal yang biasa.
Meski begitu, mengetahui jumlah penganutnya semakin bertambah adalah hal yang menyenangkan baginya.
Jika anak ini benar-benar serius, ia harus mengajarkan asal mula ajaran Jashin sampai perintah ketatnya secara rinci.
Untuk sementara, hal yang harus Hidan lakukan saat ini adalah―
“Doa yang mengakhiri pembantaian ini belum selesai tahu. Bicaranya setelah ini saja”
Hidan berbaring di atas simbol ajaran Jashin yang dibuat dengan darahnya sendiri.
“Ritual ajaran Jashin.....! Anu! Akan kuperhatikan dengan seksama!”
Hohozuki sedikit mengambil jarak dan duduk bersimpuh lutut. Perawakannya tepat seperti sedang karyawisata.
“.....Apa kau tidak bisa mempersingkat doa panjangmu yang sia-sia itu?”
“Tidak ada konsep yang panjang atau pendek dalam berdoa! Dasar keparat!”
Comments
Post a Comment